idNSA.id - Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu langkah yang dianggap paling efektif untuk memperlambat perluasan pandemi COVID19 ini adalah dengan menerapkan Social Distancing atau menjaga jarak aman antara satu orang dengan yang lain. di beberapa tempat di negara yang lain bahkan sampai melakukan lock down, menghentikan segala aktifitas di daerah tersebut agar tidak ada ruang antara warga untuk saling bertemu. sehingga diharapkan virus ini berhenti penyebarannya.
Indonesia sendiri, di beberapa kota seperti Jakarta dan Solo, telah terlebih dahulu sudah menerapkan kebijakan seperti menutup tempat keramaian, menghentikan aktifitas belajar mengajar di sekolah maupun kampus kemudian dipindahkan ke daring, serta himbauan untuk #dirumahaja juga terus digalakkan.
Sayangnya, himbauan ini ya hanya menjadi sebatas himbauan, sehingga tidak begitu memaksa warga masyarakat untuk tetap dirumah.
bagi saya sendiri, setidaknya ada dua kejadian yang agak fatal yakni kejadian di Solo. pertama, tentang seorang wanita yang ODP dan ternyata positif, saat masih dalam karantina, yang bersangkutan masih menyempatkan untuk keluar rumah, membantu hajatan tetangga, ke pasar dll. hingga akhirnya 17 rumah yang berada disekitar terpaksa dikarantina juga, link berita bisa dibaca disini.
Kejadian kedua, masih di Solo juga, seorang wanita yang sudah berstatus ODP sepulang dari Singapura, kedapatan melalui video yang beredar di Whatsapp, berkeliaran di tempat keramaian yakni pasar di solo. link berita disini.
dari dua kejadian tersebut, ternyata yang menjadi salah satu problem utamanya adalah menjaga keberadaan para ODP dan PDP ini apabila sedang dalam karantina terutama karantina mandiri (sel-isolation) itu untuk tetap berada ditempat.
Nah, semalam (22/3) di group dosen Telkom University, salah seorang dosen memposting sebuah link berita tentang bagaimana pemerintah Taiwan mampu mengendalikan wabah korona ternyata salah satunya dengan menerapkan “pagar elekronik”. artikel detailnya bisa dibaca disini.
Menurut berita tersebut, warga yang dikarantina tersebut dilacak keberadaannya menggunakan ponselnya. yang keluar dari area akan diberikan sanksi atau denda. Dalam implementasinya, pihak pemerintah bekerja sama dengan operator telekomunikasi.
Kira-kira seperti apa dan bagaimana secara teknis hal ini bisa dilakukan? berikut langkah sangat sederhananya.
Pertama, tentu nomor telepon pasien harus diketahui terlebih dahulu.
Kedua, setelah nomor handphone diketahui, selanjutnya mengambil data profiling base station atau daftar base station yang terhubung dengan nomor pasien tersebut. tentu data ini ya hanya ada di operator. kenapa saya sebutkan sebagai daftar, karena memang handphone kita biasanya terhubung atau berkomunikasi kepada lebih dari satu base station.
Gambar berikut salah satu contoh, kita bisa melihat handphone yang kita miliki terhubungnya dengan beberapa Base station. terdiri dari serving cell dan neighbour cell. handphone kita bisa jadi bergantian atau berubah-ubah terhubung dengan base station tertentu tergantung situasi seperti kualitas sinyal. Namun jika posisi handphone tidak berpindah begitu jauh, maka yang melayani ya hanya dalam daftar itu saja. Kecenderungannya adalah, base station itu adalah base station terdekat dengan handphone kita
Ketiga, saya rasa idenya sudah bisa ditangkap. setelah daftarnya kita punya, prinsipnya apabila pasien berpindah maka handphone akan dilayani oleh base station yang ‘baru’ yang tidak ada dalam daftar. ketika ini terjadi, maka ini bisa jadi sebagai alarm apakah pasien ini berpindah atau tidak. keluar dari lokasi karantina atau tidak.
ya menempatkan setiap petugas medis pada titik self-isolation tentu tidak begitu efektif. apalagi jika yang masuk dalam ODP, PDP misalkan jumlahnya sampai lebih dari 1000 orang. mungkin malah lebih baik, mereka dikerahkan untuk tugas kesehatan yang lain. Menempatkan warga sekitar untuk menjaga, seperti pada kasus pertama diatas, ternyata budaya “tidak enak” untuk menegur juga masih hidup meskipun situasi critical seperti sekarang, akhirnya juga tidak efektif.
beberapa negara yang lain menerapkan pagar elektronik yang berbeda, dengan GPS, via satelit, membuat aplikasi khusus dll. oia, Pak Dahlan iskan juga menuliskan pikiran beliau Lock Opo Tumon disini.
Dengan waktu yang terus cepat bergerak, cara ini memiliki kelebihan yakni, tidak perlu menginstall aplikasi apapun pada handphone pasien. tidak perlu develop aplikasi disisi pasien dan yang paling penting, tidak butuh hardware khusus. satu lagi, tidak perlu untuk memberitahu para pasien bahwa mereka diawasi via handphone mereka. :D
Poin utamanya adalah, mari sama-sama kontribusi sekecil apapun. apapun bidang kita mesti ada hal yang bisa kita berikan. ide ini bisa kita realisasikan? menurut saya harusnya bisa. Taiwan sudah melakukan itu.
Semoga Allah swt memberikan jalan yang terbaik bagi kita semua melewati pandemi ini. aamiin ya Rabb.
Penulis: Fardhan
Medium: https://medium.com/@fardanfnn